Tentang Maulana dan Upaya Memperindah Purnama (Cerpen A.S Laksana)
05.03
KUSAMPAIKAN sekarang tentang hati yang gentar dan kabut tebal dan ia yang melarikan gelisahnya ke wajah bulan.
Aku sendiri menyukai pantai, sebab di sana ada debur ombak yang bisa mengalahkan debar jantung. Aku menyukai warna fajar di pantai, warna dari masa kecil yang seperti lekat selamanya dalam ingatan. “Itu matahari,” kata ayah. Jarinya menunjuk bulatan jingga di langit timur. Kami jalan-jalan berdua saja, umurku mungkin lima waktu itu, menikmati angin pagi dan pasir pantai dan bau tiram.
Kelak aku tahu bahwa warna fajar sama dengan warna senja, namun hari tidak berubah jadi hitam setelahnya dan matahari tidak membenamkan dirinya ke laut.
Aku juga menyukai purnama, tetapi tidak kularikan gelisahku di sana; tidak kusembunyikan apa pun pada bayang-bayang hitam di permukaannya. Maulana yang melakukan itu. Ia empat puluh satu tahun dan aku tiga puluh tiga dan kami bertemu terakhir kali pada Kamis sore di sebuah pantai. Hari Jumat tubuhku terbang menjauhinya, menjauhi pantai yang aku tak ingin mengunjunginya lagi setelah itu.
Esok hari pesawat akan mendarat dan tubuh kami terpisah 12 ribu kilometer jauhnya, tetapi ingatanku tak pernah bisa pergi darinya dan, sementara pesawat membawa tubuhku pergi, ingatanku selalu pulang ke hari kemarin, ke langit jingga tahun lalu, ke lelaki yang menggesek biola pada senja hari menjelang purnama. Ia memainkan lagi itu-itu saja, lagu ciptaannya sendiri yang mengkhayalkan seandainya bulan tidak bersinar lagi, seandainya matahari tak terbit esok hari, seandainya bunga-bunga semuanya layu dan mati.
Burung dan kelelawar memenuhi langit, cahaya jingga menembus kaca jendela. Di kamar itu Maulana menggesek biolanya, di depan para penonton yang selalu sama: sederet boneka anjing kecil yang berbaris rapi di lemari pajangan; serombongan kura-kura dan kucing keramik, sepasang kadal dari kayu, dan ayam-ayam tembikar yang berkeliaran di atas meja di samping lemari pajangan. Aku ingat datang pertama kali ke rumah Maulana pada bulan Juli, namun di ruangannya waktu membeku dan bulan selalu September pada kalender dinding tak pernah ditanggalkan sejak delapan tahun lalu.
Di pintu ruangan, seorang anak perempuan delapan tahun berdiri dengan kepala menyandar pada kusen; tangan kirinya memegang gagang pintu, tangan kanannya terjuntai ke bawah memegangi kertas gambarnya. Maulana bermain dengan mata terpejam dan lagunya sekarang sudah tiba di bagian akhir, bagian paling meratap, yang sepertinya sanggup membuat kadal, kura-kura, dan semua binatang pajangan di ruangan itu mengamuk dan saling menyalahkan.
Aku di samping gadis kecil itu, berdiri di tempat yang Maulana tidak bisa segera melihatku pada saat ia nanti menyelesaikan permainannya dan membuka mata.
“Lagunya itu melulu,” kata si gadis ketika lagu berakhir.
“Oh, kenapa hanya berdiri di pintu, Nona Manis?” kata Maulana. “Masuklah dan ambil tempat dudukmu dan akan kumainkan lagu kesukaanmu. Kau minta lagu apa?”
“Tapi sebetulnya aku juga suka lagu tadi.”
“Kalau begitu akan kumainkan sekali lagi.”
“Tidak usah. Ayah harus lekas mandi. Kita akan jalan-jalan nanti malam, kan?”
“Masih sore sekarang.”
“Sudah magrib. Kalau tidak mandi sekarang, nanti kau lupa.”
“Eh, kau menggambar apa lagi hari ini?”
Gadis kecil itu lekas-lekas menyembunyikan kertas gambarnya ke balik punggung.
“Mandi dulu baru boleh lihat,” katanya.
“Baiklah, Tuan Putri. Tapi aku akan memainkan lagu itu sekali lagi untukmu.”
“Tidak usah! Kau mandi saja. Lagi pula… lihat, siapa di sebelahku ini…”
Si anak meraih tanganku dan menarikku ke ambang pintu.
“Astaga!” Maulana tampak setengah tak percaya aku ada di depannya. “Kau datang memberi kejutan atau menagih naskah, Ratri?”
Maulana sedang menyelesaikan novel ketiganya dan ia berjanji akan merampungkan penulisannya tiga bulan lagi. Dua novelnya terdahulu kami yang menerbitkan dan aku yang menyunting keduanya. Pada kedatangan pertama itu aku tidak meneleponnya lebih dulu. “Kebetulan lewat,” kataku, “lalu tiba-tiba ingat alamat rumahmu, lalu aku mampir. Tapi kalau ditolak…”
Dari depan rumah terdengar suara anak lelaki memanggil-manggil: Tasya! Tasya!
ANGIN menggoyangkan daun-daun akasia di luar pagar. Anto sedang berdiri di balik pagar melihat jalanan. Sepedanya ia sandarkan di pokok akasia. Ia membalikkan tubuh ketika aku sudah berada dekat dengannya.
“Mari kita nengok Angga,” ajaknya. “Kasihan, sudah dua hari sakit.”
“Besok saja sepulang sekolah,” sahutku. “Sekarang aku mau pergi sama ayahku.”
“Sekarang saja, besok mungkin dia sudah sembuh.”
“Tapi sekarang aku mau pergi.”
Ia diam beberapa saat, lalu mengambil sepedanya yang tersandar di pokok akasia, lalu memutar sepeda itu dan mengayuhnya. Aku memandanginya dari balik pagar sampai ia hilang ditelan tikungan.
Ayah belum ke kamar mandi juga saat aku masuk. Ia berdiri di depan meja makan dengan handuk tersampir di pundak dan membuka tudung lauk dan mengamat-amati hamparan makanan di atas meja makan itu. Aku hapal apa yang sebentar lagi ia lakukan. Ia akan mencomot sepotong tempe goreng dan memakannya, lalu sepotong lagi, lalu sepotong lagi.
“Tanganmu harus dipotong kalau kau suka mencuri, Yah,” kataku.
Beberapa langkah di sebelah sana, sekilas kulihat Tante Ratri tersenyum.
Mbak Rina datang dari dapur membawa nampan dan memindahkan piring-piring lauk yang ada di nampan ke atas meja.
“Kau akan pulang hari apa, Rina?” tanya Ayah.
“Kayaknya tidak jadi, Pak, kasihan si adik. Tak ada yang menemani dia nanti kalau Bapak pergi kerja,” sahut Mbak Rina.
“Pulanglah. Kakakmu nikah tidak berkali-kali. Untuk ngurus adik, biar nanti kucarikan ganti sementara.”
Menurutku Mbak Rina harus pulang dan Ayah tidak perlu repot-repot mencari orang untuk menemaniku. Aku bisa mengurus diriku sendiri. Yang penting sekarang adalah Ayah cepat mandi. Kuseret tangannya dan kubawa ia ke kamar mandi dan kemudian aku menemui Tante Ratri. Ayah pernah mengajakku dua kali ke kantor penerbitan tempat Tante Ratri bekerja dan kami bercakap-cakap dan aku suka bercakap-cakap dengannya.
Kami bercakap-cakap di teras rumah sampai ayah keluar dan kami siap berjalan-jalan.
Tante Ratri tidak ikut jalan-jalan bersama kami. Ia bilang harus segera pulang karena ada pekerjaan yang perlu diselesaikan. “Lain kali Tante ikut,” katanya.
Orang-orang dewasa sering mengatakan ada pekerjaan yang harus diselesaikan. Ayah juga seperti itu.
“Kita bareng sampai ke taman?” kata Tante Ratri saat ia menghidupkan mesin mobilnya.
“Kami jalan saja,” kata ayah.
Ayah melangkah santai, tetapi aku harus setengah berlari agar selalu bisa berjalan di sampingnya. Kadang-kadang kami harus turun dari trotoar untuk menghindar dari warung tenda dan naik lagi ke trotoar setelah melewati warung tenda itu. Aku agak repot karena aku menggendong Mimi sepanjang jalan. Sebenarnya ia ringan, hanya saja boneka beruang ini hampir sama besarnya dengan aku. Kadang aku ingin meninggalkannya di rumah, tetapi kasihan. Ia juga pasti ingin bertemu Ibu. Kami hanya bisa bertemu pada saat purnama. Jika ia kutinggal di rumah, ia baru akan bertemu Ibu pada purnama berikutnya.
Setelah tiga kelokan, kami tiba di mulut jembatan. Ada sebuah pulau di tengah sungai di bawah sana, segunduk tanah dengan ilalang lebat dan beberapa batang pisang, dan aku pernah menanyakan kepada ayah apakah ada orang yang tinggal di pulau itu. Kubayangkan di sana ada orang-orang Liliput, manusia sebesar kelingking yang menunggang kuda sebesar kecoa.
Ayah suka membaca dan ia pernah membacakan untukku cerita tentang manusia-manusia sebesar kelingking dan aku ingin berkawan dengan mereka.
Kukatakan kepada ayah bahwa aku ingin menjadi kapten kapal dan berlayar ke negeri Liliput.
“Kupikir kau ingin menjadi peri biru,” kata ayah.
Memang. Aku ingin menjadi peri biru agar bisa melindungi anak-anak perempuan yang dinakali oeh anak-anak lelaki bandel.
“Apakah peri biru tak bisa menjadi kapten kapal?” tanyaku.
“Belum pernah ada, tapi kau bisa memulainya,” kata ayah.
Dari jembatan bulan tampak jelas, seperti bola besar dengan cahaya yang lembut di mata. Kata ayah, ibuku ada di sana. Ia terbang pada hari aku lahir. Ayah selalu memainkan biola untuk Ibu menjelang malam purnama.
“Waktu kau main biola, apakah ibu mendengarnya?” tanyaku.
“Tentu saja. Ibu sangat menyukai lagu itu,” kata ayah.
“Tapi ia tak pernah datang.”
“Kau tak merasakan kedatangannya?”
“Aku tak pernah melihat ibu datang.”
“Ada hal-hal yang tidak bisa dilihat dan hanya bisa dirasakan.”
“Teman-temanku bisa melihat ibu mereka.”
Ayah mengisap rokoknya. Kadang-kadang ia berhenti bicara agak lama dan mengisap rokoknya. Lalu kulihat ia menundukkan kepala, lalu mendongakkan kepala, lalu menyedot rokoknya sekali lagi.
“Kau bisa merasakan udara yang kauhisap waktu bernapas?” tanya ayah.
“Bisa,” kataku.
“Bisa melihatnya?”
“Udara memang tidak bisa dilihat.”
“Tapi kauyakin udara itu ada?”
“Ya.”
“Begitu pun Ibu. Ia bersama kita, namun kita tidak melihatnya, sebab ia sudah meninggal.”
Aku mengangguk-angguk.
“Ibu meninggal lalu menjadi udara?”
“Bukan menjadi udara. Ibu sudah meninggal. Mata kita tak bisa melihatnya, namun kita bisa merasakannya saat ia datang.”
“Kau bilang Ibu sangat mencintai kita. Kenapa ia meninggal kalau benar-benar mencintai kita?”
“Semua orang bisa meninggal. Dan itu urusan Tuhan.”
“Kadang-kadang aku jengkel sama Tuhan. Kenapa orang yang mencintai kita dibikin meninggal?”
LAMPU-LAMPU mulai menyala pada tiang-tiang yang tegak berjajar di sepanjang pembatas jalan. Dari arah belakang terdengar suara mesin motor meraung. Tiba-tiba ia menyalipku dengan cara bajingan. Anak-anak muda sering menjengkelkan, mereka berubah menjadi babi ngepet saat berada di atas jok motornya.
Sore tadi aku lari dari Robi dan merasa tidak ingin bertemu dia selama-lamanya dan dengan pikiran kusut kubawa begitu saja mobilku menuju rumah Maulana. Robi lelaki yang baik dan untuk kesejuta kalinya ia mengajakku bicara soal pernikahan dan aku tidak ingin membicarakan urusan itu. Setidaknya dalam waktu dekat dan entah sampai kapan aku tidak ingin membicarakan urusan pernikahan dengannya. Ia anak tunggal dan aku tidak mungkin punya anak dan aku tak ingin nantinya dipersalahkan sebagai penyebab terputusnya silsilah keluarga mereka.
“Pertengahan tahun ini aku harus berangkat ke Venezuela,” katanya, “dan aku ingin kita berangkat ke sana bersama-sama…”
“Bisa kita bicara hal lain, Rob?” tanyaku.
“Sebenarnya aku menginginkan Cile dan kita bisa mengunjungi Isla Negra. Itu masih tempat favoritmu, bukan?”
“Rob…”
Ia membawakan untukku novel Il Postino suatu hari dan mengatakan bahwa itu novel yang bagus sekali dan ia benar. Aku menyukainya, cerita tentang pemuda malas dari sebuah desa nelayan yang enggan melaut seperti ayahnya dan memilih bekerja sebagai tukang pos. Si pemalas Mario Jimenez secara lugu belajar metafora kepada Pablo Neruda, satu-satunya orang di Isla Negra yang menjadi pelanggan posnya, dan mereka kemudian menjadi sangat dekat dan Mario menggunakan puisi-puisi si Penyair untuk merayu perempuan pujaannya.
Aku terpukau pada nama tempat di novel itu. Isla Negra.
“Suatu saat aku pasti ke sana, Rob,” kataku, seperti bersumpah.
Sungguh Robi lelaki yang baik dan ia memiliki karier yang bagus di departemen luar negeri tempatnya bekerja dan aku tidak pernah ragu bahwa ia mencintaiku. Tujuh tahun kami berpacaran dan pada tahun keempat ia menungguiku di rumah sakit dan selalu berupaya membesarkan hatiku pada hari-hari sulit: rahimku harus diangkat. Aku menginginkan operasi itu dilakukan sejauh mungkin dari rumah agar tak ada satu pun tetangga mengetahui apa yang terjadi padaku dan memandangiku dengan belas kasihan ketika aku keluar dari rumah sakit. Karena itu kupikir operasi harus dilakukan di luar negeri.
Robi mengambil cuti dan menemaniku.
“Aku tak akan bisa punya anak, Rob.”
Itu yang kusampaikan pertama kali ketika aku siuman dari bius yang melelapkanku selama operasi. Robi di sebelahku, lelah dan mengantuk, tetapi tampak sangat bahagia ketika melihatku membuka mata.
“Kau baik-baik saja dan tak ada yang perlu disesali,” katanya.
Aku menggeleng, bukan untuk menyatakan tidak, tetapi hanya menggeleng. Warna-warna seperti kelabu di depan mata dan, dengan kepala menempel pada bantal, beberapa waktu lamanya aku terus menggelengkan kepala.
Mungkin sejak itu aku lebih banyak menggelengkan kepala.
Tapi aku baik-baik saja dan kuharap jangan pernah ada yang menyangka aku menyesali keadaanku. Setiap perempuan punya rahim dan jika rahim itu diangkat karena ada masalah padanya, itu hal yang lumrah, sama lumrahnya dengan seseorang harus merelakan kaki kirinya dipotong karena ada masalah pada organ itu.
Jadi segalanya normal bagiku. Hanya sejak itu aku mengembangkan kebiasaan menggelengkan kepala dan itu seperti jawaban otomatis untuk setiap situasi yang aku tak yakin harus menjawab apa.
Begitupun ketika Tasya memintaku ikut jalan-jalan. Purnama adalah milik mereka berdua dan aku tidak ingin mengganggu dengan kehadiranku. Tidak, pada hari ketika aku sendiri butuh menentramkan hati.
Maulana pernah menceritakan kepadaku tentang istrinya yang meninggal di bulan September saat melahirkan dan bagaimana ia merawat rasa cintanya kepada perempuan itu dan bagaimana ia menyampaikan kenyataan itu kepada Tasya, satu-satunya anak mereka, dan bagaimana ayah dan anak itu menikmati purnama sebagai ritual sebulan sekali untuk bertemu dengan orang yang mereka cintai.
Kuakui bahwa ayah dan anak itu membuatku jatuh hati dan aku mengunjungi mereka ketika telingaku tak tahan menerima ajakan menikah dari Robi, namun aku datang di saat mereka sedang bersiap menyambut waktu istimewa dan aku tak ingin menjadi bagian dari ritual purnama mereka. Belum ingin. Kelak, kautahu, aku menjadi terlampau dekat dengan mereka dan ada keinginan kuat padaku untuk menjadi bagian dari mereka.
Cerita tentang itu masih sangat panjang, dengan rentetan sebab akibat yang akan memakan banyak halaman, namun secara ringkas cukuplah kusebutkan sebab utamanya: kepalaku sudah terbiasa menggeleng.(*)
Aku sendiri menyukai pantai, sebab di sana ada debur ombak yang bisa mengalahkan debar jantung. Aku menyukai warna fajar di pantai, warna dari masa kecil yang seperti lekat selamanya dalam ingatan. “Itu matahari,” kata ayah. Jarinya menunjuk bulatan jingga di langit timur. Kami jalan-jalan berdua saja, umurku mungkin lima waktu itu, menikmati angin pagi dan pasir pantai dan bau tiram.
Kelak aku tahu bahwa warna fajar sama dengan warna senja, namun hari tidak berubah jadi hitam setelahnya dan matahari tidak membenamkan dirinya ke laut.
Aku juga menyukai purnama, tetapi tidak kularikan gelisahku di sana; tidak kusembunyikan apa pun pada bayang-bayang hitam di permukaannya. Maulana yang melakukan itu. Ia empat puluh satu tahun dan aku tiga puluh tiga dan kami bertemu terakhir kali pada Kamis sore di sebuah pantai. Hari Jumat tubuhku terbang menjauhinya, menjauhi pantai yang aku tak ingin mengunjunginya lagi setelah itu.
Esok hari pesawat akan mendarat dan tubuh kami terpisah 12 ribu kilometer jauhnya, tetapi ingatanku tak pernah bisa pergi darinya dan, sementara pesawat membawa tubuhku pergi, ingatanku selalu pulang ke hari kemarin, ke langit jingga tahun lalu, ke lelaki yang menggesek biola pada senja hari menjelang purnama. Ia memainkan lagi itu-itu saja, lagu ciptaannya sendiri yang mengkhayalkan seandainya bulan tidak bersinar lagi, seandainya matahari tak terbit esok hari, seandainya bunga-bunga semuanya layu dan mati.
Burung dan kelelawar memenuhi langit, cahaya jingga menembus kaca jendela. Di kamar itu Maulana menggesek biolanya, di depan para penonton yang selalu sama: sederet boneka anjing kecil yang berbaris rapi di lemari pajangan; serombongan kura-kura dan kucing keramik, sepasang kadal dari kayu, dan ayam-ayam tembikar yang berkeliaran di atas meja di samping lemari pajangan. Aku ingat datang pertama kali ke rumah Maulana pada bulan Juli, namun di ruangannya waktu membeku dan bulan selalu September pada kalender dinding tak pernah ditanggalkan sejak delapan tahun lalu.
Di pintu ruangan, seorang anak perempuan delapan tahun berdiri dengan kepala menyandar pada kusen; tangan kirinya memegang gagang pintu, tangan kanannya terjuntai ke bawah memegangi kertas gambarnya. Maulana bermain dengan mata terpejam dan lagunya sekarang sudah tiba di bagian akhir, bagian paling meratap, yang sepertinya sanggup membuat kadal, kura-kura, dan semua binatang pajangan di ruangan itu mengamuk dan saling menyalahkan.
Aku di samping gadis kecil itu, berdiri di tempat yang Maulana tidak bisa segera melihatku pada saat ia nanti menyelesaikan permainannya dan membuka mata.
“Lagunya itu melulu,” kata si gadis ketika lagu berakhir.
“Oh, kenapa hanya berdiri di pintu, Nona Manis?” kata Maulana. “Masuklah dan ambil tempat dudukmu dan akan kumainkan lagu kesukaanmu. Kau minta lagu apa?”
“Tapi sebetulnya aku juga suka lagu tadi.”
“Kalau begitu akan kumainkan sekali lagi.”
“Tidak usah. Ayah harus lekas mandi. Kita akan jalan-jalan nanti malam, kan?”
“Masih sore sekarang.”
“Sudah magrib. Kalau tidak mandi sekarang, nanti kau lupa.”
“Eh, kau menggambar apa lagi hari ini?”
Gadis kecil itu lekas-lekas menyembunyikan kertas gambarnya ke balik punggung.
“Mandi dulu baru boleh lihat,” katanya.
“Baiklah, Tuan Putri. Tapi aku akan memainkan lagu itu sekali lagi untukmu.”
“Tidak usah! Kau mandi saja. Lagi pula… lihat, siapa di sebelahku ini…”
Si anak meraih tanganku dan menarikku ke ambang pintu.
“Astaga!” Maulana tampak setengah tak percaya aku ada di depannya. “Kau datang memberi kejutan atau menagih naskah, Ratri?”
Maulana sedang menyelesaikan novel ketiganya dan ia berjanji akan merampungkan penulisannya tiga bulan lagi. Dua novelnya terdahulu kami yang menerbitkan dan aku yang menyunting keduanya. Pada kedatangan pertama itu aku tidak meneleponnya lebih dulu. “Kebetulan lewat,” kataku, “lalu tiba-tiba ingat alamat rumahmu, lalu aku mampir. Tapi kalau ditolak…”
Dari depan rumah terdengar suara anak lelaki memanggil-manggil: Tasya! Tasya!
ANGIN menggoyangkan daun-daun akasia di luar pagar. Anto sedang berdiri di balik pagar melihat jalanan. Sepedanya ia sandarkan di pokok akasia. Ia membalikkan tubuh ketika aku sudah berada dekat dengannya.
“Mari kita nengok Angga,” ajaknya. “Kasihan, sudah dua hari sakit.”
“Besok saja sepulang sekolah,” sahutku. “Sekarang aku mau pergi sama ayahku.”
“Sekarang saja, besok mungkin dia sudah sembuh.”
“Tapi sekarang aku mau pergi.”
Ia diam beberapa saat, lalu mengambil sepedanya yang tersandar di pokok akasia, lalu memutar sepeda itu dan mengayuhnya. Aku memandanginya dari balik pagar sampai ia hilang ditelan tikungan.
Ayah belum ke kamar mandi juga saat aku masuk. Ia berdiri di depan meja makan dengan handuk tersampir di pundak dan membuka tudung lauk dan mengamat-amati hamparan makanan di atas meja makan itu. Aku hapal apa yang sebentar lagi ia lakukan. Ia akan mencomot sepotong tempe goreng dan memakannya, lalu sepotong lagi, lalu sepotong lagi.
“Tanganmu harus dipotong kalau kau suka mencuri, Yah,” kataku.
Beberapa langkah di sebelah sana, sekilas kulihat Tante Ratri tersenyum.
Mbak Rina datang dari dapur membawa nampan dan memindahkan piring-piring lauk yang ada di nampan ke atas meja.
“Kau akan pulang hari apa, Rina?” tanya Ayah.
“Kayaknya tidak jadi, Pak, kasihan si adik. Tak ada yang menemani dia nanti kalau Bapak pergi kerja,” sahut Mbak Rina.
“Pulanglah. Kakakmu nikah tidak berkali-kali. Untuk ngurus adik, biar nanti kucarikan ganti sementara.”
Menurutku Mbak Rina harus pulang dan Ayah tidak perlu repot-repot mencari orang untuk menemaniku. Aku bisa mengurus diriku sendiri. Yang penting sekarang adalah Ayah cepat mandi. Kuseret tangannya dan kubawa ia ke kamar mandi dan kemudian aku menemui Tante Ratri. Ayah pernah mengajakku dua kali ke kantor penerbitan tempat Tante Ratri bekerja dan kami bercakap-cakap dan aku suka bercakap-cakap dengannya.
Kami bercakap-cakap di teras rumah sampai ayah keluar dan kami siap berjalan-jalan.
Tante Ratri tidak ikut jalan-jalan bersama kami. Ia bilang harus segera pulang karena ada pekerjaan yang perlu diselesaikan. “Lain kali Tante ikut,” katanya.
Orang-orang dewasa sering mengatakan ada pekerjaan yang harus diselesaikan. Ayah juga seperti itu.
“Kita bareng sampai ke taman?” kata Tante Ratri saat ia menghidupkan mesin mobilnya.
“Kami jalan saja,” kata ayah.
Ayah melangkah santai, tetapi aku harus setengah berlari agar selalu bisa berjalan di sampingnya. Kadang-kadang kami harus turun dari trotoar untuk menghindar dari warung tenda dan naik lagi ke trotoar setelah melewati warung tenda itu. Aku agak repot karena aku menggendong Mimi sepanjang jalan. Sebenarnya ia ringan, hanya saja boneka beruang ini hampir sama besarnya dengan aku. Kadang aku ingin meninggalkannya di rumah, tetapi kasihan. Ia juga pasti ingin bertemu Ibu. Kami hanya bisa bertemu pada saat purnama. Jika ia kutinggal di rumah, ia baru akan bertemu Ibu pada purnama berikutnya.
Setelah tiga kelokan, kami tiba di mulut jembatan. Ada sebuah pulau di tengah sungai di bawah sana, segunduk tanah dengan ilalang lebat dan beberapa batang pisang, dan aku pernah menanyakan kepada ayah apakah ada orang yang tinggal di pulau itu. Kubayangkan di sana ada orang-orang Liliput, manusia sebesar kelingking yang menunggang kuda sebesar kecoa.
Ayah suka membaca dan ia pernah membacakan untukku cerita tentang manusia-manusia sebesar kelingking dan aku ingin berkawan dengan mereka.
Kukatakan kepada ayah bahwa aku ingin menjadi kapten kapal dan berlayar ke negeri Liliput.
“Kupikir kau ingin menjadi peri biru,” kata ayah.
Memang. Aku ingin menjadi peri biru agar bisa melindungi anak-anak perempuan yang dinakali oeh anak-anak lelaki bandel.
“Apakah peri biru tak bisa menjadi kapten kapal?” tanyaku.
“Belum pernah ada, tapi kau bisa memulainya,” kata ayah.
Dari jembatan bulan tampak jelas, seperti bola besar dengan cahaya yang lembut di mata. Kata ayah, ibuku ada di sana. Ia terbang pada hari aku lahir. Ayah selalu memainkan biola untuk Ibu menjelang malam purnama.
“Waktu kau main biola, apakah ibu mendengarnya?” tanyaku.
“Tentu saja. Ibu sangat menyukai lagu itu,” kata ayah.
“Tapi ia tak pernah datang.”
“Kau tak merasakan kedatangannya?”
“Aku tak pernah melihat ibu datang.”
“Ada hal-hal yang tidak bisa dilihat dan hanya bisa dirasakan.”
“Teman-temanku bisa melihat ibu mereka.”
Ayah mengisap rokoknya. Kadang-kadang ia berhenti bicara agak lama dan mengisap rokoknya. Lalu kulihat ia menundukkan kepala, lalu mendongakkan kepala, lalu menyedot rokoknya sekali lagi.
“Kau bisa merasakan udara yang kauhisap waktu bernapas?” tanya ayah.
“Bisa,” kataku.
“Bisa melihatnya?”
“Udara memang tidak bisa dilihat.”
“Tapi kauyakin udara itu ada?”
“Ya.”
“Begitu pun Ibu. Ia bersama kita, namun kita tidak melihatnya, sebab ia sudah meninggal.”
Aku mengangguk-angguk.
“Ibu meninggal lalu menjadi udara?”
“Bukan menjadi udara. Ibu sudah meninggal. Mata kita tak bisa melihatnya, namun kita bisa merasakannya saat ia datang.”
“Kau bilang Ibu sangat mencintai kita. Kenapa ia meninggal kalau benar-benar mencintai kita?”
“Semua orang bisa meninggal. Dan itu urusan Tuhan.”
“Kadang-kadang aku jengkel sama Tuhan. Kenapa orang yang mencintai kita dibikin meninggal?”
LAMPU-LAMPU mulai menyala pada tiang-tiang yang tegak berjajar di sepanjang pembatas jalan. Dari arah belakang terdengar suara mesin motor meraung. Tiba-tiba ia menyalipku dengan cara bajingan. Anak-anak muda sering menjengkelkan, mereka berubah menjadi babi ngepet saat berada di atas jok motornya.
Sore tadi aku lari dari Robi dan merasa tidak ingin bertemu dia selama-lamanya dan dengan pikiran kusut kubawa begitu saja mobilku menuju rumah Maulana. Robi lelaki yang baik dan untuk kesejuta kalinya ia mengajakku bicara soal pernikahan dan aku tidak ingin membicarakan urusan itu. Setidaknya dalam waktu dekat dan entah sampai kapan aku tidak ingin membicarakan urusan pernikahan dengannya. Ia anak tunggal dan aku tidak mungkin punya anak dan aku tak ingin nantinya dipersalahkan sebagai penyebab terputusnya silsilah keluarga mereka.
“Pertengahan tahun ini aku harus berangkat ke Venezuela,” katanya, “dan aku ingin kita berangkat ke sana bersama-sama…”
“Bisa kita bicara hal lain, Rob?” tanyaku.
“Sebenarnya aku menginginkan Cile dan kita bisa mengunjungi Isla Negra. Itu masih tempat favoritmu, bukan?”
“Rob…”
Ia membawakan untukku novel Il Postino suatu hari dan mengatakan bahwa itu novel yang bagus sekali dan ia benar. Aku menyukainya, cerita tentang pemuda malas dari sebuah desa nelayan yang enggan melaut seperti ayahnya dan memilih bekerja sebagai tukang pos. Si pemalas Mario Jimenez secara lugu belajar metafora kepada Pablo Neruda, satu-satunya orang di Isla Negra yang menjadi pelanggan posnya, dan mereka kemudian menjadi sangat dekat dan Mario menggunakan puisi-puisi si Penyair untuk merayu perempuan pujaannya.
Aku terpukau pada nama tempat di novel itu. Isla Negra.
“Suatu saat aku pasti ke sana, Rob,” kataku, seperti bersumpah.
Sungguh Robi lelaki yang baik dan ia memiliki karier yang bagus di departemen luar negeri tempatnya bekerja dan aku tidak pernah ragu bahwa ia mencintaiku. Tujuh tahun kami berpacaran dan pada tahun keempat ia menungguiku di rumah sakit dan selalu berupaya membesarkan hatiku pada hari-hari sulit: rahimku harus diangkat. Aku menginginkan operasi itu dilakukan sejauh mungkin dari rumah agar tak ada satu pun tetangga mengetahui apa yang terjadi padaku dan memandangiku dengan belas kasihan ketika aku keluar dari rumah sakit. Karena itu kupikir operasi harus dilakukan di luar negeri.
Robi mengambil cuti dan menemaniku.
“Aku tak akan bisa punya anak, Rob.”
Itu yang kusampaikan pertama kali ketika aku siuman dari bius yang melelapkanku selama operasi. Robi di sebelahku, lelah dan mengantuk, tetapi tampak sangat bahagia ketika melihatku membuka mata.
“Kau baik-baik saja dan tak ada yang perlu disesali,” katanya.
Aku menggeleng, bukan untuk menyatakan tidak, tetapi hanya menggeleng. Warna-warna seperti kelabu di depan mata dan, dengan kepala menempel pada bantal, beberapa waktu lamanya aku terus menggelengkan kepala.
Mungkin sejak itu aku lebih banyak menggelengkan kepala.
Tapi aku baik-baik saja dan kuharap jangan pernah ada yang menyangka aku menyesali keadaanku. Setiap perempuan punya rahim dan jika rahim itu diangkat karena ada masalah padanya, itu hal yang lumrah, sama lumrahnya dengan seseorang harus merelakan kaki kirinya dipotong karena ada masalah pada organ itu.
Jadi segalanya normal bagiku. Hanya sejak itu aku mengembangkan kebiasaan menggelengkan kepala dan itu seperti jawaban otomatis untuk setiap situasi yang aku tak yakin harus menjawab apa.
Begitupun ketika Tasya memintaku ikut jalan-jalan. Purnama adalah milik mereka berdua dan aku tidak ingin mengganggu dengan kehadiranku. Tidak, pada hari ketika aku sendiri butuh menentramkan hati.
Maulana pernah menceritakan kepadaku tentang istrinya yang meninggal di bulan September saat melahirkan dan bagaimana ia merawat rasa cintanya kepada perempuan itu dan bagaimana ia menyampaikan kenyataan itu kepada Tasya, satu-satunya anak mereka, dan bagaimana ayah dan anak itu menikmati purnama sebagai ritual sebulan sekali untuk bertemu dengan orang yang mereka cintai.
Kuakui bahwa ayah dan anak itu membuatku jatuh hati dan aku mengunjungi mereka ketika telingaku tak tahan menerima ajakan menikah dari Robi, namun aku datang di saat mereka sedang bersiap menyambut waktu istimewa dan aku tak ingin menjadi bagian dari ritual purnama mereka. Belum ingin. Kelak, kautahu, aku menjadi terlampau dekat dengan mereka dan ada keinginan kuat padaku untuk menjadi bagian dari mereka.
Cerita tentang itu masih sangat panjang, dengan rentetan sebab akibat yang akan memakan banyak halaman, namun secara ringkas cukuplah kusebutkan sebab utamanya: kepalaku sudah terbiasa menggeleng.(*)
0 komentar