Peradaban Saat Aku Ada

08.33

Senja terlukis dengan goresan warna kemerah-merahan di barat bukit desaku, di sebuah gubuk tengah sawah, aku bangun dan menguap lebar-lebar kemudian melihat bagaimana sawah mulai terbias merah dari mega, aku juga melihat ladang terong, timun mulai kosong, hasil panen melimpah tahun ini. Aku berdiri mematung sambil memeluk novel yang berjudul 100 Tahun Kesunyian yang baru setengah buku aku baca, dan bagaimana novel penerima nobel ini begitu lekat pemilihan kata-katanya sehingga begitu dalam, sedangkan jika aku hanya membuat sebuah cerpen, kata-kata yang aku pakai hanya itu-itu saja, dan beberapa aku selipkan quote dari orang-orang besar. Aku memang mengagumi para filosof terkemuka di dunia, aku juga mengagumi filosof amatir seperti teman-teman kelasku yang belakangan ini selalu mendapat kasus pelanggaran di sekolah. Entah apa itu yang dinamakan hidup?, seseorang mampu hidup di peradaban walaupun dunia semakin tidak beradab. Namun aku suka hidup dalam peradaban desaku ini, orang-orang masih banyak yang mencuci baju di sungai, alam seperti teman, dan ladang mayoritas dijadikan tempat mengisi hari. Aku hidup 15 tahun disini, umurku sekarang 18 tahun, 3 tahun belakangan ini aku menuntut ilmu di kota sebrang, dan beberapa bulan sekali aku pulang untuk kembali merasakan peradaban desaku. Orang-orang pulang dari sawah dan aku turut dari belakang menapaki jalan setapak yang membatasi sawah dan sawah lain.
Dari kejauhan sayup-sayup orang membaca al-qur'an dari salah satu masjid, di desaku terdapat 6 masjid besar nan megah, jamaahnya pun sangat banyak, dan anak-anak yang mengaji juga berjumlah hampir mendekati ratusan di setiap masjid, aku mengaji di masjid sejak aku berumur 3 tahun hingga umur 15 tahun, setelah itu aku di pondokkan orang tuaku di kota sebrang yang cukup jauh dari desaku.
**********************************************************************************

Suara adzan berkumandang tegas dari arah masjid, hal itu ,membuyarkan lamunanku tentang gadis itu, gadis yang beberapa bulan ini aku kenal di sekolahku, anaknya cantik,pintar dan baik. Dan dia juga salah satu murid terbaik di sekolahku, hampir semua guru mengenalnya. Aku berjalan ke kamar mandi untuk mengambil air wudlu kemudian pergi ke masjid. Suara shalawatan terdengar mengalun pelan-pelan penuh penghayatan, tanganku pucat dan terlihat sangat putih ketika terkena air, dan saat aku bercermin yang aku lihat mukaku bertambah pucat. Sangat pas jika mukaku ini seperti orang yang sekarat, beberapa hari ini aku demam, ditambah mual yang menyiksa saat menelan makanan. Dengan langkah goyah aku berjalan ke masjid, mengambil shaf ke tiga, aku bersyukur masih ada orang yang meramaikan masjid ini, pemuda-pemuda di desaku rata-rata merantau ke kota besar, dan hanya beberapa yang mondok atau kuliah, mungkin yang demikian bisa dihitung dengan jari, dan yang bekerja sangatlah banyak, dan desaku sangat ramai pada saat idul fitri, semua pekerja perantauan pulang sambil membawa banyak cerita dan bahkan ada yang membawa calon istrinya. Setelah shalat aku menyempatkan duduk di pendopo masjid sambil menerawang keluar, membayangkan bagaimana dulu aku dulu mengaji dengan teman-teman disini, sekarang adik-adikku dan teman-temannya yang sekarang mengaji, dulu setiap hari aku mengaji di masjid, guru mengajinya adalah kakekku sendiri, namun sekarang kakekku sudah tidak mengajar ngaji lagi, kesehatannya semakin menurun, alhasil murid-murid beliau yang sekarang meneruskan, lebih dari 10 guru ngaji sekarang mengajar di masjid, termasuk kedua orang tuaku. Dan aku sempat menjadi guru pembantu sesaat sebelum aku mondok. Ternyata betapa berat tugas dari seorang guru, dan hal itu menyadarkanku betapa peradaban di desaku yang masih beradab dan menjunjung tinggi nilai luhur.

You Might Also Like

0 komentar

Popular Posts

Like us on Facebook

Flickr Images