Surat Safira Kepada Zainuri
21.49
Aku gemar mengutip sesuatu yang bermakna sastra yang sering aku pakai untuk bahasa puitisku, dengan nada yang sumbang aku sering meneriakkan sesuatu itu, dengan bahasa yang tabu seriang aku suarakan itu. Ini surat yang aku temukan beberapa bulan yang lalu.
Untuk Ananda Zainuri terhormat
Aku pergi ke kota untuk mengunjungi
pamanku yang sakit parah, pertama aku akan merasa bahagia jika surat ini
benar-benar bisa kamu baca. Dan yang kedua aku akan merasa sedih jika kamu
membaca surat ini hingga akhir, akan ada kalimat-kalimat yang menusuk hati dan
aku yang merasakan pertama kali. Kamu kenal Jalaluddin kan Zain? anak juragan
tanah yang sukses, kekayaannya sanggup menghidupi seluruh keluarga yang ada di
kampong ini, kampong yang katamu budaya senioritas masih subur menjamur, aku
dijodohkan dengan Jalaluddin saat aku masih di kelas 3 aliyah di Pesantren dan
itu sebenarnya tidak membuatku bahagia, bahagiaku itu kamu Zain. Memang kita
satu susuan dan itu tidak bisa untuk menyatukan kita dipelaminan, jadi siapa
yang salah. Apakah ini salahku yang lahir ke dunia sehingga membunuh ibuku
sendiri, atau ini salah abahku yang menyuruh ibumu untuk menyusuiku megapa
abahku memilih ibumu Zain, aku sangat sedih dengan hal ini. Aku pergi ke kota
juga untuk menenangkan hatiku, kemarin abah sempat membaca surat-suratmu namun
kemudia beliau membuang surat-surat itu dengan alasan kamu terlalu pandai
untukku, bukankah calon suami itu harus seseorang yang pandai namun mengapa
abah melarangku.
Zainuri yang dirahmati Allah
Ketika kita kecil pernah suatu
ketika kamu memanggilku dengan sebutan “mbak” dan itu sepatutnya tidak kamu
ucapkan, walaupun aku lebih dahulu lahir namun aku menganggapmu masku, kakakku,
abangku. Dan hal inilah yang juga menghalangi perasaan kita, keluargaku
mempunyai adat suami harus lebih tua dari istrinya. Sungguh kepada angin yang
menghembuskan suara lirihku, aku teramat mencintaimu wahai abangku.
Dari pemilik hatimu
Adinda Safira
0 komentar